NERS NEWS - Terhitung sejak 16 Juli 2018 lalu sampai akhir Oktober nanti, saya berkantor di satu sudut dari Latrobe's School of Health Science & Engineering, Victoria. Ini adalah minggu pertama saya bekerja dalam rangka pencapaian pribadi sekaligus intensifikasi kerjasama dua universitas antara Unair dan Latrobe University, Australia. Kali pertama saya masuk dalam rangka dinas, kikuk rasanya dibebaskan untuk menggunakan pakaian yang dianggap nyaman saja.
Dalam perkenalan dan induction ini, kemudian saya dilibatkan aktif dalam setiap pertemuan dan rapat yang dinilai penting dalam pengembangan kerjasama akademik, penyelenggaraan kelas internasional, dan kebijakan lain yang berkaitan dengan upaya rekognisi internasional dari LaTrobe. Sepertinya sudah tiga atau lebih pertemuan yang saya ikuti sampai dengan saat ini, baik itu setingkat departemen, pimpinan fakultas, hingga pertemuan strategis antara universitas dengan institusi yang lain.
Hingga pada tanggal 18 Juli lalu saya mendapatkan undangan elektronik pertemuan strategis antara petinggi Universitas ini dengan Konsulat Jenderal RI baru untuk Victoria dan Tazmania pada keesokan harinya. Saya tidak menganggap ada yang istimewa dalam pertemuan itu, awalnya. Hingga kemudian pada even tersebut saya hadir berlengan pendek dan jaket tebal karena suhu saat itu hanya 5-6°C. Ketika memasuki ruangan, saya dipersilahkan melepas jaket dalam pertemuan resmi itu. Ternyata, suhu ruang rapat di-set sampai 15°C saja. Saya baru tahu rasanya.
Dalam pertemuan itu, Ibu Konsulat Jenderal RI untuk Victoria dan Tazmania, Spica A Tutuhatunewa hadir bersama dua orang staf-nya, berdialog dengan pimpinan LaTrobe, termasuk di dalamnya Sonia Reisenhofer, Pro-Vice Chancellor Kelly Smith, dan Staf Latrobe berkebangsaan Indonesia. Istimewa rasanya bagi saya, diberikan kesempatan untuk memaparkan kerjasama Unair dan LaTrobe, apa pentingnya, peluangnya, dan bagaimana tantangannya, serta apa yang dapat ditawarkan sebagai solusinya.
Pada kesempatan tersebut saya menyampaikan bahwa kemitraan ini penting, mengingat potensi Sekolah Tinggi Keperawatan LaTrobe yang superior dan kebutuhan peningkatan kualitas pendidikan serupa di kawasan Indonesia timur melalui Universitas Airlangga. Dengan sangat positif Ibu Spica mengamini hal tersebut, dan menggarisbawahi bahwa LPDP serta peluang pembiayaan eksternal lain perlu memahami hal ini. Beliau menyampaikan, bahwa Latrobe patut mengapresiasi ini dan menjadikan Universitas Airlangga sebagai mitra potensial untuk membuka pintu kerjasama yang lebih luas kepada universitas lain di kawasan Indonesia timur. Saya tidak pernah menyangka, sebegitu puasnya ketika gagasan saya mendapatkan apresiasi besar oleh Konsulat Jenderal, petinggi di Indonesia. Karena, apalah saya, hanya dosen biasa.
Saya, yang datang salah kostum dan merasa sangat kedinginan, seketika hangat dan merasa diistimewakan baik oleh LaTrobe dan Kedutaan RI untuk Australia. Hasil ini pun, membuat LaTrobe puas atas kerja keras Dr Sonia Reisenhofer yang mau menjadi supervisor dan mentor saya selama di Latrobe untuk beberapa bulan ke depan. Patut rasanya saya berterima kasih juga kepada Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga yang mengijinkan saya untuk bekerja dari jauh, dan Department of Education and Training, Pemerintah Federal Australia yang mensupport niat-niat saya.
Penulis: Setho Hadisuyatmana, S.Kep.Ns., M.NS. (CommHlth&PC)